Pemerintah Harus Lindungi dan Fasilitasi Kegiatan Filantropi untuk Bencana Sumatera

Jakarta, 12 Desember 2025 – Aliansi Filantropi untuk Akuntabilitas Sumbangan, yang mewakili aspirasi lebih dari 100 organisasi dan pegiat filantropi di Indonesia, mendesak pemerintah untuk segera meninjau dan mereformasi regulasi terkait izin penggalangan donasi yang justru menghambat partisipasi publik dalam penanganan bencana. Aliansi menegaskan bahwa kegiatan filantropi, termasuk menyumbang dan menggalang sumbangan atau donasi, merupakan hak konstitusional warga negara, bagian dari hak berpartisipasi untuk pembangunan dan kebebasan berorganisasi serta manifestasi nyata nilai gotong royong. Negara berkewajiban melindungi hak ini sesuai mandat konstitusi. Oleh karena itu, regulasi negara wajib memfasilitasi, bukan membelenggu partisipasi warga dalam aksi kemanusiaan dan pembangunan.

Pernyataan Menteri Sosial mengenai kewajiban izin untuk penggalangan donasi bagi korban bencana di Sumatera telah menimbulkan kebingungan publik dan keraguan terkait kepastian hukum. Dalam situasi kedaruratan, kecepatan dan kelancaran respons menjadi faktor yang sangat menentukan dalam penyelamatan dan pemulihan.

Ketentuan tersebut merujuk pada Permensos Nomor 8 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pengumpulan Uang atau Barang (PUB), yang pada gilirannya masih bertumpu pada kerangka regulasi lama, yaitu Undang-Undang No. 9 Tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1980. Kondisi ini menunjukkan adanya kebutuhan untuk meninjau kembali regulasi agar lebih selaras dengan dinamika kebencanaan dan praktik filantropi masa kini, sehingga perlindungan publik dapat berjalan seiring dengan efektivitas respon kemanusiaan.

Riza Abdali, perwakilan Aliansi, menjelaskan bahwa UU yang berusia lebih dari enam dekade ini sama sekali tidak mencerminkan realitas digital,partisipasi masyarakat modern maupun kebutuhan respons kemanusiaan yang mendesak, sehingga menjadi akar masalah dari seluruh kerumitan perizinan yangterjadi saat ini.

Solidaritas sosial masyarakat Indonesia selalu berkobar saat bencana melanda, seperti  yang kini terjadi di Sumatera. Bencana ini telah menelan sedikitnya 836 jiwa,meninggalkan 518 orang masih hilang, melukai sekitar 2.700 orang, dan memaksa lebihdari 52.000 warga mengungsi serta menghancurkan ribuan rumah dan infrastruktur dasar. Dalam situasi seberat ini, gelombang inisiatif bantuan dari masyarakat sipil, komunitas, dan individu mengalir deras, menunjukkan kekuatan filantropi akar rumput yang tanggap dan empatik.

Penggalangan dana melalui platform digital, pengumpulan logistik secara mandiri di posko-posko, serta mobilisasi relawan dalam jumlah besar adalah bukti nyata bahwa masyarakat bukanlah pihak pasif, melainkan mitra aktif pemerintah dalam penanggulangan bencana. Energi sosial yang besar ini adalah aset bangsa yang tak ternilai dan bentuk nyata dari hak warga untuk berpartisipasi membangun ketahanan sosial.

Berdasarkan kajian mendalam Aliansi terhadap Permensos No. 8/2024 yang dirujuk oleh Menteri Sosial, kami mencatat sejumlah kekhawatiran substantif terkait penerapan regulasi tersebut. Beberapa ketentuan tampak bersifat sangat proseduraldan berjenjang sehingga berpotensi menyulitkan pelaksanaan di lapangan, khususnya dalam konteks respons cepat dan penggalangan solidaritas masyarakat.

Selain itu, ketentuan yang mengatur kriteria penyelenggara sumbangan perlu ditinjau kembali karena berisiko membatasi ruang partisipasi bagi inisiatif individu, komunitas, dan pelaku usaha atau aktor‑aktor yang selama ini menjadi ujung tombak gerakan filantropilokal. Yang lebih mengkhawatirkan, pendekatan regulasi saat ini cenderung memandang penggalangan dana sebagai kegiatan ad hoc ketimbang bagian dari praktikorganisasi yang berkelanjutan dan profesional.

Untuk itu, kami mengajak semua pihak seperti pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan pemangku kepentingan lainnya agar bisa membuka dialog konstruktif demi menyempurnakan kerangka regulasi yang sekaligus menjamin akuntabilitas dan memfasilitasi inisiatif solidaritas warga.

Beberapa ketentuannya bahkan tidak sejalan dengan kebutuhan organisasi nirlaba dan bertentangan dengan peraturan di atasnya. Bivitri Susanti, akademisi STHI Jentera, menyampaikan, “Aturan PUB prinsipnya untuk memastikan akuntabilitas pengumpulan dana publik, untuk melindungi publik”.

Lebih lanjut, Bivitri menegaskan bahwa konsep “perizinan” saat ini telah membatasi hak warga. Paradigma ini harus diubah dengan konsep “mencatat” karena tugas negara adalah mengurus warga negara. Dalam situasi bencana, Kemensos seharusnya menjalankan perannya untuk memfasilitasi agar peran negara yang diambil alih oleh warga tetap tercatat dengan baik. Bila tidak diubah,regulasi dengan karakter seperti ini ibarat rem tangan yang ditarik saat mobil hendak melaju cepat untuk menolong.

Lebih jauh, pengalaman lapangan anggota Aliansi menunjukkan bahwa implementasi Permensos lebih bermasalah daripada teks regulasinya karena proses perizinannya sulit dan memakan waktu.

1. Persyaratan dokumen tidak konsisten antarstaf Kemensos dan Dinsos.

2. Persyaratan tambahan diluar ketentuan atau tidak dipahaminya jenis badan hukum organisasi sosial oleh staf Kemensos atau Dinsos.

3. Mekanisme perizinan berjenjang yang mensyaratkan rekomendasi dari dinas kabupaten atau provinsi kerap macet, memperpanjang proses.

4. Tidak ada Standar Operasional Prosedur (SOP) yang standar sehingga interpretasi berubah-ubah tergantung pejabat.

5. Lamanya pengurusan sampai 3 bulan sehingga sering kadaluarsa sebelum program berjalan

6. Durasi izin yang hanya berlaku 3 bulan gagal memahami bahwa penggalangan dana bukan sekedar kegiatan ad hoc, tetapi program-program jangka panjang.

Peran ideal negara sebagai regulator dan fasilitator adalah memastikan transparansi, menyediakan data akurat, membuka akses logistik, dan menciptakan iklim yang aman bagi filantropi warga. Pemerintah tidak perlu menggalang donasi secara masif, karena masyarakat sipil telah menjalankan fungsi tersebut dengan efektif. Kolaborasi yang sehat, dengan pembagian peran yang jelas antara pemerintah sebagai penyedia infrastruktur regulasi dan layanan dasar dengan masyarakat sebagai penggerak aksi solidaritas akan menjadi kunci ketahanan bangsa dan negara dalam menghadapi bencana.

“Oleh karena itu, regulasi filantropi harus menggunakan paradigma yang melindungi dan memfasilitasi hak warga ini, bukan mencurigai dan membatasinya,” ungkap Riza.

Lebih lanjut, Riza menyampaikan bahwa pemerintah harus beralih dari pendekatan “controller” menjadi “enabler”, dengan menciptakan ekosistem yang memudahkan niat baik masyarakat tersalurkan secara cepat, aman, transparan dan tepat sasaran, khususnya dalam situasi darurat yang membutuhkan kecepatan dan keluwesan di luar kemampuan birokrasi konvensional. Dengan kata lain, perbaikan regulasi ke depan harus diletakkan pada perlindungan atas hak partisipasi untuk berbagi atau menyumbang dan menerima donasi. Berdasarkan berbagai elaborasi di atas, Aliansi merekomendasikan langkah-langkah reformasi regulasi yang mendesak dan berjenjang.

1. DPR RI harus segera merevisi UU No. 9 Tahun 1961 tentang PUB dan menggantikannya dengan RUU Pemajuan Filantropi, serta memasukkannya dalam Prolegnas Prioritas. UU baru harus berpijak pada paradigma perlindungan hak warga, pengakuan keragaman pelaku filantropi, penguatan tata kelola filantropi, dan mengakomodasi teknologi digital guna memperkuat ekosistem filantropi di Indonesia.

2. Pemerintah harus segera merevisi PP No. 29 Tahun 1980 yang sudah sangat tidak memadai untuk mengatur praktik penggalangan dana modern dan menjadi turunan UU usang tersebut.

3. Kementerian Sosial harus segera mengeluarkan surat edaran untuk menangguhkan perizinan PUB dalam merespon bencana Sumatera saat ini. Seraya itu, Kementerian Sosial juga harus menyederhanakan persyaratan, menghapus mekanisme berjenjang, memperpanjang masa berlaku izin, dan menciptakan fast-track mechanism untuk situasi bencana.

4. Pemerintah mengubah sikap dan paradigma, dari pola pengawasan yang berlebihan menuju kebijakan yang melindungi dan mempermudah partisipasi publik. Negara lebih baik tidak mengambil alih atau memonopoli saluran bantuan warga dengan mewajibkan donasi disalurkan melalui pemerintah, karena hal itu justru mematikan inisiatif lokal yang lebih memahami konteks setempat dan memperlambat respons kemanusiaan terkait. Insiden pengambilan bantuan masyarakat yang terjadi di Aceh harus menjadi peringatan. Pelaku harus ditindak tegas dan kejadian ini tidak boleh terulang.

Tentang LindungiHutan

LindungiHutan adalah start-up lingkungan yang berfokus pada aksi konservasi hutan dan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Sebanyak 1 juta pohon telah ditanam bersama lebih dari 600+ brand dan perusahaan. Kami menggandeng masyarakat lokal di 30+ lokasi penanaman yang tersebar di Indonesia. Kami menghadirkan beberapa program seperti Corporatree, Collaboratree dengan skema Product Bundling, Service Bundling dan Project Partner, serta program Carbon Offset.

Press Release ini juga sudah tayang di VRITIMES

Back To Top